Sekarang kita masuk bahasan terakhir dari hadits kedua Arbain An-Nawawiyah tentang ihsan dan tanda kiamat.
Kali ini melanjutkan ihsan dan tanda kiamat dari hadits Jibril, hadits Al-Arbain An-Nawawiyah kedua. Inilah pembahasan terakhir dari hadits kedua tersebut.
Lanjutan dari hadits Umar bin Al-Khathab radhiyallahu ‘anhu,
قَالَ : أَخْبِرْنِي عَنِ الإِيْمَانِ قَالَ ” أَنْ تُؤْمِنَ بِاللهِ وَمَلَائِكَتِهِ وَكُتُبِهِ وَرُسُلِهِ وَاليَوْمِ الآخِرِ وَتُؤْمِنَ بِالْقَدَرِ خَيْرِهِ وَشَرِّهِ ” قَالَ : صَدَقْتَ , قَالَ : فَأَخْبِرْنِي عَنِ الإِحْسَانِ , قَالَ ” أَنْ تَعْبُدَ اللهَ كَأَنَّكَ تَرَاهُ , فَإِنْ لَمْ تَكُنْ تَرَاهُ فَإِنَّهُ يَرَاكَ ” قَالَ , فَأَخْبِرْنِي عَنِ السَّاعَةِ , قَالَ ” مَا المَسْئُوْلُ بِأَعْلَمَ مِنَ السَّائِلِ ” قَالَ فَأَخْبِرْنِي عَنْ أَمَارَاتِهَا . قَالَ ” أَنْ تَلِدَ الأَمَةُ رَبَّتَهَا وَأَنْ تَرَى الحُفَاةَ العُرَاةَ العَالَةَ رِعَاءَ الشَّاءِ يَتَطَاوَلُوْنَ فِي البُنْيَانِ ” . ثُمَّ انْطَلَقَ فَلَبِثْتُ مَلِيَا , ثُمَّ قَالَ ” يَا عُمَر , أَتَدْرِي مَنِ السَّائِلِ ؟” , قُلْتُ : اللهُ وَرَسُوْلُهُ أَعْلَمُ , قَالَ ” فَإِنَّهُ جِبْرِيْلُ أَتَاكُمْ يُعَلِّمُكُمْ دِيْنَكُمْ ” رَوَاهُ مُسْلِمٌ
Orang itu berkata lagi, “Beritahukan kepadaku tentang Iman.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Engkau beriman kepada Allah, kepada para Malaikat-Nya, Kitab-kitab-Nya, kepada para rasul-Nya, kepada hari Kiamat dan kepada takdir yang baik maupun yang buruk.” Orang tadi berkata, “Engkau benar.”
Orang itu berkata lagi, “Beritahukan kepadaku tentang Ihsan.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Engkau beribadah kepada Allah seakan-akan engkau melihat-Nya, jika engkau tidak melihatnya, sesungguhnya Dia pasti melihatmu.”
Orang itu berkata lagi, “Beritahukan kepadaku tentang kiamat.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab,” Orang yang ditanya itu tidak lebih tahu dari yang bertanya.” Selanjutnya orang itu berkata lagi, “Beritahukan kepadaku tentang tanda-tandanya.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Jika seorang budak wanita melahirkan majikannya; jika engkau melihat orang-orang yang tidak beralas kaki, tidak berbaju, miskin dan penggembala kambing, berlomba-lomba mendirikan bangunan.”
Kemudian orang tadi pergi, aku tetap tinggal beberapa lama kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepadaku, “Wahai Umar, tahukah engkau siapa yang bertanya itu?” Saya menjawab, “Allah dan Rasul-Nya lebih mengetahui.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Ia adalah Jibril, dia datang untuk mengajarkan kepadamu tentang agama kepadamu.” (HR. Muslim, no. 8)
Pelajaran Bagian Keempat dari Hadits #02
1- Ihsan itu berarti berbuat baik yaitu berbuat baik dalam menunaikan kewajiban pada Sang Khaliq, di mana ibadah dilakukan ikhlas karena-Nya dan ittiba’ (mengikuti tuntunan) Rasul-Nya. Siapa saja yang ikhlas dan mengikuti tuntunan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, dialah yang disebut telah berbuat ihsan. Adapun berbuat ihsan kepada makhluk adalah berbuat baik kepada sesama melalui harta, kedudukan dan lainnya (seperti dijelaskan dalam hadits ke-17 dari Hadits Al-Arbain An-Nawawiyah).
2- “Ihsan adalah engkau beribadah kepada Allah seakan-akan engkau melihat-Nya” maksudnya ibadah tersebut dibangun di atas keikhlasan dan ittiba’ (mengikuti tuntunan) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Seakan-akan melihat-Nya maksudnya adalah ibadah itu dilakukan atas dasar cinta kepada Allah. Sebab cinta inilah yang mendorong seseorang melakukan ibadah.
3- “Jika engkau tidak melihat-Nya, sungguh Allah melihatmu”, maksudnya beribadahlah kepada Allah atas dasar takut kepada-Nya. Jika kita menyelisihi hal itu, maka Allah melihat kita yaitu Allah akan memberikan siksaan.
4- Sebagaimana disebutkan oleh Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah, derajat ihsan ada dua: (a) derajat thalab, (b) derajat harb.
Derajat thalab adalah kita beribadah kepada Allah seakan-akan melihat-Nya. Derajat harb adalah kita beribadah kepada Allah dan yakin Allah melihat kita, maka takutlah akan siksa-Nya. Derajat thalab lebih tinggi dibandingkan dengan derajat harb.
5- Dalam ihsan ada kadar wajib yang mesti dipenuhi yaitu seorang hamba harus beribadah dengan baik pada Allah dengan ikhlas dan ittiba’. Ada pula kadar mustahab (sunnah) yaitu beribadah kepada Allah pada maqam muraqabah atau maqam musyahadah.
Maqam muraqabah adalah meyakini bahwa Allah melihat kita. Inilah maqamnya kebanyakan manusia sebagaimana disebutkan dalam ayat,
وَمَا تَكُونُ فِي شَأْنٍ وَمَا تَتْلُو مِنْهُ مِنْ قُرْآَنٍ وَلَا تَعْمَلُونَ مِنْ عَمَلٍ إِلَّا كُنَّا عَلَيْكُمْ شُهُودًا إِذْ تُفِيضُونَ فِيهِ
“Kamu tidak berada dalam suatu keadaan dan tidak membaca suatu ayat dari Al-Quran dan kamu tidak mengerjakan suatu pekerjaan, melainkan Kami menjadi saksi atasmu di waktu kamu melakukannya.” (QS. Yunus: 61)
Juga dalam hadits disebutkan sebagai berikut,
إِذَا قُمْتَ فِى صَلاَتِكَ فَصَلِّ صَلاَةَ مُوَدِّعٍ وَلاَ تَكَلَّمْ بِكَلاَمٍ تَعْتَذِرُ مِنْهُ وَأَجْمِعِ الْيَأْسَ عَمَّا فِى أَيْدِى النَّاسِ
“Jika engkau shalat, kerjakanlah seperti shalat orang yang akan berpisah; janganlah berbicara dengan perkataan yang engkau nanti akan meminta maaf di hari esok, dan janganlah berharap terhadap apa yang dimiliki oleh orang lain.” (HR. Ibnu Majah, no. 4171 dan Ahmad, 5:412; dari Abu Ayyub. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa hadits ini hasan.)
Dari Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
صَلِّ صَلَاةَ مُوَدِّعٍ، فَإِنَّكَ إِنْ كُنْتَ لَا تَرَاهُ فَإِنَّهُ يَرَاكَ، وَأْيَسْ مِمَّا فِي أَيْدِي النَّاسِ تَكُنْ غَنِيًّا، وَإِيَّاكَ وَمَا يُعْتَذَرُ مِنْهُ
“Shalatlah seperti shalat orang yang akan berpamitan, maka sesungguhnya Engkau, jika Engkau tidak bisa melihat-Nya, maka sesungguhnya Dia melihatmu. Dan tak perlu banyak berharap pada sesuatu yang ada di tangan orang lain, engkau pasti akan menjadi kaya; dan berhati-hatilah dari yang nanti akan dimintai alasannya.” (HR. Al-Baihaqi dalam Az-Zuhud Al-Kabir, 2:210. Syaikh Al-Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih karena banyak penguatnya. Lihat Silsilah Al-Ahadits Ash-Shahihah, no. 1914.)
Maqam musyahadah berarti kita beribadah kepada Allah seakan-akan melihat-Nya yaitu melihat nama dan sifat Allah serta pengaruhnya, bukan melihat zat Allah secara langsung seperti diyakini oleh kaum sufi. Maqam ini lebih tinggi dibandingkan maqam muraqabah.
6- As-saa’ah adalah waktu saat manusia berdiri keluar dari kuburnya menghadap Rabbul ‘alamin, yaitu hari berbangkit. Disebut as-saa’ah karena kiamat itu bala’ (musibah) yang besar seperti disebutkan dalam ayat,
يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمْ إِنَّ زَلْزَلَةَ السَّاعَةِ شَيْءٌ عَظِيمٌ
“Hai manusia, bertakwalah kepada Rabbmu; sesungguhnya kegoncangan hari kiamat itu adalah suatu kejadian yang sangat besar (dahsyat).” (QS. Al-Hajj: 1)
7- Ilmu tentang hari kiamat, kapan pastinya hari kiamat datang hanyalah menjadi ilmu Allah. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang ditanya saja menjawab bahwa ia tidak lebih tahu dari yang bertanya (Jibril).
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah sampai-sampai menegaskan, “Wajib bagi kita mendustakan setiap orang yang menyatakan bahwa batasan umur dunia sekian dan sekian di masa akan datang. Siapa yang berani menyatakan seperti itu atau membenarkannya, maka ia kafir.” (Syarh Al-Arba’in An-Nawawiyah, hlm. 65).
Dalam ayat disebutkan,
يَسْأَلُكَ النَّاسُ عَنِ السَّاعَةِ قُلْ إِنَّمَا عِلْمُهَا عِنْدَ اللَّهِ وَمَا يُدْرِيكَ لَعَلَّ السَّاعَةَ تَكُونُ قَرِيبًا
“Manusia bertanya kepadamu tentang hari berbangkit. Katakanlah: “Sesungguhnya pengetahuan tentang hari berbangkit itu hanya di sisi Allah.” Dan tahukah kamu (hai Muhammad), boleh jadi hari berbangkit itu sudah dekat waktunya.” (QS. Al-Ahzab: 63)
8- Kiamat akan datang dengan melewati tanda-tanda terlebih dahulu. Allah Ta’ala berfirman,
فَهَلْ يَنْظُرُونَ إِلَّا السَّاعَةَ أَنْ تَأْتِيَهُمْ بَغْتَةً فَقَدْ جَاءَ أَشْرَاطُهَا فَأَنَّى لَهُمْ إِذَا جَاءَتْهُمْ ذِكْرَاهُمْ
“Maka tidaklah yang mereka tunggu-tunggu melainkan hari kiamat (yaitu) kedatangannya kepada mereka dengan tiba-tiba, karena sesungguhnya telah datang tanda-tandanya. Maka apakah faedahnya bagi mereka kesadaran mereka itu apabila Kiamat sudah datang?” (QS. Muhammad: 18)
9- Para ulama seperti Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah membagi tanda datangnya kiamat menjadi tiga: (a) tanda yang sudah berlalu dan berakhir, (b) tanda yang akan terus berulang (tanda wustha), (c) tanda yang menunjukkan semakin dekatnya hari kiamat (tanda kubra).
10- Tanda kiamat yang disebutkan dalam hadits:
Pertama: Seorang budak melahirkan majikannya. Hal ini ada dua makna yaitu: (1) semakin banyak perbudakan di akhir zaman sehingga ada anak perempuan yang dilahirkan dari seorang budak dan anak perempuan itu merdeka sedangkan budak wanita sebagai ibunya tetaplah budak; (2) semakin banyak anak yang durhaka di akhir zaman karena ada anak perempuan yang bertingkah laku sebagai majikan dan ibunya diperlakukan sebagai budaknya.
Kedua: Orang yang tidak beralas kaki, tidak berbaju, miskin dan penggembala kambing, berlomba-lomba mendirikan bangunan. Artinya banyak orang miskin yang menjadi kaya dan berlomba-lomba meninggikan dan memperbagus bangunan.
11- Malaikat bisa berjalan dan bisa berubah bentuk menyerupai manusia.
12- Manusia asalnya tidak bisa melihat malaikat.
13- Seorang alim boleh mengajukan pertanyaan pada murid-muridnya tentang berbagai hal yang belum diketahui.
14- Yang bertanya suatu ilmu bisa menjadi orang yang mengajarkan ilmu kepada orang-orang yang mendengar jawabannya.
15- Yang ditanyakan dalam hadits ini adalah masalah diin (masalah agama). Diin dalam hal ini ada tiga tingkatan: (a) Islam memiliki lima rukun, (b) Iman memiliki enam rukun, (c) Ihsan memiliki satu rukun yaitu beribadah kepada Allah seakan-akan melihat-Nya; jika tidak melihatnya, yakinlah Allah itu melihat kita.
16- Seorang muslim hendaklah mempelajari agamanya tidak sekedar mengaku sebagai seorang muslim saja lantas tidak mengetahui dalam ajaran Islam itu terdapat apa saja. Sehingga penting mempelajari Islam, Iman dan Ihsan. Demikian nasihat dari Syaikh Shalih Al-Fauzan hafizahullah.
Semoga bermanfaat hadits Jibril dan menjadi pelajaran bagi kita semua.
Referensi:
- Al-Minhah Ar-Rabbaniyyah fii Syarh Al-Arba’in An-Nawawiyyah. Cetakan pertama, Tahun 1429 H. Syaikh Dr. Shalih bin Fauzan bin ‘Abdillah Al-Fauzan. Penerbit Darul ‘Ashimah.
- Jaami’ Al-‘Ulum wa Al-Hikam fii Syarh Khamsiina Haditsan min Jawami’ Al-Kalim. Cetakan kesepuluh, Tahun 1432 H. Ibnu Rajab Al-Hambali. Tahqiq: Syu’aib Al-Arnauth. Penerbit Muassasah Ar-Risalah.
- Syarh Al-Arba’in An-Nawawiyyah. Cetakan ketiga, Tahun 1425 H. Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin. Penerbit Dar Ats-Tsuraya.
- Syarh Al-Arba’in An-Nawawiyyah. Cetakan kedua, Tahun 1433 H. Syaikh Shalih bin ‘Abdul ‘Aziz bin Muhammad bin Ibrahim Alu Syaikh. Penerbit Darul ‘Ashimah.
—
Disusun di Pesantren Darush Sholihin, Jumat pagi, 20 Rabi’ul Awwal 1439 H
Oleh: Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel Rumaysho.Com